Sastra itu cenderung pada tindakan individu. Merenung di kesunyian. Menulis dalam kesendirian. Atau membaca teka-teki hidup pada malam bersama kepulan asap rokok dan aroma kopi.
Mungkin seperti itulah yang dipikirkan sebagian orang. Dengan kata lain, bersastra dikenal sebagai aktivitas jiwa bak bertapa. Yang di dalamnya ada olah pikir, rasa, dan karsa untuk menghasilkan kesejatian hidup yang matang.
Sebenarnya proses menempa diri yang demikian itu tak bisa dikatakan salah seratus persen jika dikaitkan dengan sastra. Sastrawan dalam melahirkan karya-karya berkualitas memang tak jauh dari aktivitas jiwa yang dalam dan luas.
Akan tetapi, hidup dan kehidupan sastrawan tidak bisa luput dari aktivitas sosial. Sastrawan juga manusia, Bro!
Ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Sebutlah makan, minum, dan sebagainya yang semuanya itu perlu manusia lainnya. Bahkan, sebagai upaya menghasilkan karya sastra ideal, sastrawan juga kudu bergumul dalam realitas sosial secara menyeluruh guna menyentuh dan menghayati kehidupan yang dipotretnya.
Selain itu, perlu adanya diskusi, meski kecil-kecilan antarsastrawan. Nah yang terakhir ini perlu adanya komunitas yang bukan hanya menjadi wadah, tetapi juga rumah bersama. Kebersamaan untuk menyatukan gagasan, mengasah pemikiran yang tajam, atau sekadar menikmati gorengan, kacang rebus, dan seduhan kopi dalam perbincangan santai.
Lantas, apakah komunitas sastra berlaku dari waktu ke waktu?
Dulu, internet belum ada, sekarang sudah menjamur di mana-mana. Pada suatu ketika, sastra dituturkan dari mulut ke mulut. Kemudian, beranjak menuju penulisan karya di media kulit kayu, kertas, hingga layar sentuh. Ya, kini sastra siber telah memadati dunia maya. Lihatlah mulai di webblog pribadi, web perusahaan surat kabar, dan jejaring sosial telah menjadi rumah-rumah baru sastra dari berbagai genre.
Kita bisa dengan mudah membaca puisi-puisi di Facebook, misalnya. Bahkan, dapat pula kita saksikan pembacaan puisi dan pementasan teater di YouTube.
Mendekati pertanyaan di atas, apakah komunitas sastra masih diperlukan di era sastra siber kini?
Tentunya maksud komunitas di sini yang benar-benar menjadi wadah sastrawan bertatap muka secara langsung, berdiskusi, dan hal-hal lainnya.
Sebutlah Komunitas Sastra Indonesia atau yang dikenal dengan singkatan KSI. Komunitas ini dibentuk pada akhir-akhir era orde baru. Para pendirinya sastrawan-sastrawan beken tanah air. Contohnya Ahmadun Yosi Herfanda. Tahun ke tahun geliat komunitas tersebut menampakkan geloranya.
Sejak tahun 2008 KSI tidak hanya ada di pusatnya, tetapi juga ada KSI-KSI cabang di banyak daerah. Dapat dikatakan, saat itu, pergerakan KSI benar-benar gagah. Para anggotanya bukan hanya dari kalangan sastrawan. Ada ibu rumah tangga, mahasiswa, guru, dan siapa saja boleh bergabung.
Meskipun begitu, gerak napasnya tak selalu lancar. Misalnya, dikabarkan sejak tahun 2016 KSI ibarat mati suri. Sebagian sastrawan yang ada di dalamnya pun mulai membangkitkan kembali komunitas ini. Wacana-wacana pembangkitan pun digulirkan. Banyak yang menyambut gembira langkah tersebut.
Dan, apa yang tergambar dari KSI di atas sebenarnya sebuah penjelasan konkret tentang komunitas sastra dalam perjalanan kehidupannya. Kita dapat menarik pelajaran bahwa komunitas sastra tidak selamanya berjalan lancar. Walaupun demikian, tak bisa dipungkiri, komunitas sastra tetap dibutuhkan kaum sastrawan dari waktu ke waktu, termasuk dalam era sebagai canggih saat ini.
Pertanyaan selanjutnya, apa pentingnya sih komunitas sastra?
Secara jujur, saya pernah bergabung dalam sebuah komunitas yang bergerak di dunia sastra. Di sana saya mulai mendalami dunia penerbitan atas nama komunitas tersebut. Itu berlangsung sejak adanya diskusi tentang pembukuan karya-karya orang yang berada di dalamnya. Buku-buku pun berhasil kami terbitkan secara cetak. Ini, hanya sebagian kecil dari pentingnya komunitas sastra.
Lebih lanjut saya membayangkan adanya sebuah komunitas sastra besar yang didukung pemerintah. Para sastrawan di dalamnya fokus pada pekerjaan sastra. Ada penulisan beragam genre sastra, penerbitan karya sastra secara cetak dan digital, pementasan sastra, beragam lomba sastra, bengkel sastra, kerja kritik sastra, diskusi-diskusi sastra, pelayanan publik seperti penyediaan perpustakaan dalam gedung komunitas dan juga secara mobile dari satu tempat ke tempat lainnya, dan berbagai sarana pelatihan sastra bagi semua kalangan.
Kembali ke judul, agaknya sudah terjawab terkait komunitas sastra. Berikutnya, maukah kita mendukung keberlanjutan gerak napas komunitas-komunitas sastra?
0 comments:
Post a Comment