Suatu hari, ada yang mengajak bicara tentang kehebatan para sastrawan zaman dulu menyikapi situasi dan kondisi rakyat, terutama di akar rumput.
Teirngatlah saya pada penggunaan istilah "bacaan liar" oleh penjajah Belanda pada masa dulu. Istilah itu sengaja dihadirkan di tengah-tengah masyarakat untuk menyebut karya sastra yang membangkitkan semangat nasionalisme bangsa di Pulau Jawa dan Nusantara.
Mengapa Belanda sampai repot-repot menggunakan istilah tersebut?
Jawabnya satu, yakni agar rakyat tidak berminat membaca buku-buku yang disebut dengan istilah buruk itu.
Mengapa demikian?
Belanda sangat terusik dengan persatuan rakyat di tanah yang kini disebut Indonesia ini. Jika rakyat bersatu, kekuasaan Belanda secara otomatis terancam hilang direbut orang-orang pribumi.
Lantas, siapa yang menulis buku-buku yang membuat Belanda panik tersebut?
Adalah para sastrawan zaman penjajahan. Lewat sastra sebenarnya kaum sastrawan dapat menggugah dan membangkitkan semangat juang dan rasa nasionalisme melawan Pemerintah Belanda kala itu.
Nah, begitu pula pada era kemerdekaan dan selanjutnya hingga akhir Pemerintahan Soeharto tahun '90-an. Nama Wiji Thukul begitu disorot Pemerintah Orba dan menjelang kejatuhan pak Harto, ia menghilang. Sudah menjadi rahasia umum itu dikarenakan puisi-puisinya sangat berpotensi membuat rakyat, terutama kaum buruh dan tani berani melawan era Orde Baru.
Berikut salah satu puisi Wiji Thukul.
PERINGATAN
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan Maka hanya ada satu kata: lawan!.
(Wiji Thukul, 1986)
Lalu, bagaimana kini?
Entah mengapa, setelah lengsernya Soeharto dari kursi presiden, suara-suara kritis kaum sastrawan kurang senyaring dulu. Seakan misi sastrawan sebatas mencapai visi menggulingkan Soeharto. Selanjutnya tinggal menikmati hasilnya saja. Itulah sebabnya, sebagian pihak memandang sinis kaum sastrawan.
Tapi, benarkah demikian?
Idealnya, sastra terus bergerak menyuarakan ketidakadilan dan berbagai persoalan lainnya. Bisa lewat puisi, cerpen, novel, atau melalui berbagai pentas teater. Hal itu tetap terjadi pada masa pascareformasi, meskipun diakui juga bahwa tidak ada lagi yang senyaring masa sebelumnya. Bahkan, tidak jarang yang menulis hal-hal lain semisal laut, pantai, dan sebagainya yang dinilai jauh dari akar permasalahan kebangsaan.
Akankah begini terus?
Barangkali, penggalan akhir puisi "Sajak Sebatang Lisong" karya W.S Rendra di bawah ini dapat menjadi penyemangat bagi kaum sastrawan dari waktu ke waktu untuk konsisten tetap kritis menyikapi ketidakadilan dan persoalan-persoalan nyata lainnya.
Berikut penggalannya.
...
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
0 comments:
Post a Comment