Beberapa tahun sebelumnya, pada bulan Agustus sudah mulai memasuki fase puncak musim kemarau. Akan tetapi, seperti di Kalimantan Selatan, hingga bulan ini masih sering hujan.
Kondisi ini sesuai dengan keterangan BMKG bahwa tahun ini musim kemarau di Indonesia secara umum diprediksi lebih basah daripada tahun lalu. Sedang secara khusus, sekitar 30 persen wilayah di Indonesia diprediksi akan mengalami kemarau yang lebih kering daripada keadaan normal.
Keduanya membawa manusia pada kondisi dan situasi yang berbeda. Saat musim hujan, beberapa wilayah dilanda banjir. Rumah dan lainnya terendam, termasuk persawahan. Saat mendung atau hujan, beberapa tanaman seperti sawi juga mengalami etiolosi sehingga batang menjadi kurus tinggi langsing (kutilang). Akibatnya, panen pun kurang optimal.
Kemudian, pada musim kemarau, sering terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Tahun lalu, misalnya, di Kalimantan dan Sumatera terjadi karhutla besar-besaran. Alhasil, kabut asap pun menyebar secara luas sampai ke luar negeri.
Nah, jika harus memilih dari dua kondisi di atas, secara jujur Anda pilih hujan atau kemarau?
Agaknya itu pertanyaan konyol, sebab keduanya adalah berkah yang wajib disyukuri oleh manusia mana pun.
Mengenai banjir, itu terjadi bukan karena hujan, melainkan rusaknya alam. Pembabatan hutan dari tahun ke tahun disertai penambangan secara besar-besaran adalah contoh nyata perusakan alam oleh manusia.
Begitu pula dengan kabut asap. Jelas bukan karena kemaraunya. Akan tetapi, akibat pembakaran hutan dan lahan secara sengaja oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab.
Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Tentu saja segala hal yang telah terjadi memberikan pembelajaran bagi manusia. Agar hujan dan kemarau terasa nikmat, maka selalulah bersukur seperti dengan berakhlak mulia dan hindari segala perbuatan tercela, semisal pembakaran hutan dan lahan.
0 comments:
Post a Comment