Saturday, April 11, 2020

"Cuci Tangan Terlebih Dahulu", Antara Bencana Ekonomi dan Kesehatan

Toko dengan tulisan "CUCI TANGAN TERLEBIH DAHULU" yang ditempel di etalasenya

"Berdiam di rumah, tenangkan jiwa, dan menikmati sajian pangan dari pemerintah."

Benar, biarkan virus menggelapar menunggu ajal. Kemudian menghirup alam yang bersih lagi permai.

Agaknya demikian itulah yang diharapkan rakyat di seluruh dunia saat pandemi global menghantam setiap waktu. Sebagian negara maju nan kuat, kuncian atau yang lebih dikenal dengan istilah lockdown diterapkan. Itu penting untuk membendung penyebaran COVID-19 agar rakyat aman. Idealnya, melindungi warga memanglah tugas utama pemerintah di setiap negara.

Sementara di negara-negara lain, kuncian belum diberlakukan secara nasional. Ada Beberapa negara yang memiliki alternatif lain, sebutlah Taiwan, Hong Kong, Korea Selatan, Singapura, dan Amerika Serikat.

Di Korea Selatan, misalnya, lockdown hanya diberlakukan di wilayah Daegu yang menjadi tempat awal munculnya COVID-19 dari China tersebut. Walaupun tak melakukan kuncian nasional, negeri ginseng ini sangat gigih dalam memerangi virus mematikan itu. Mereka melakukan tes massal sebanyak 10.000 orang per hari, termasuk di pusat pengujian darurat dan bilik-bilik konsultasi di sejumlah rumah sakit. Selain itu, mereka juga menyediakan layanan tes COVID-19 via drive thru.

Artinya, semua upaya dilakukan dengan syarat sungguh-sungguh. Lalu bagaimana dengan daerah-daerah di Indonesia?

Jakarta bisa disebut sebagai daerah percontohan  dalam memerangi COVID-19. Bahkan, Gubernur Anies Baswedan telah menerapkan pembatasan sosial berskala besar ( PSBB) di Ibukota Indonesia tersebut.
Itu Jakarta, sebuah kota terbesar di negara ini. Lantas bagaimana di daerah lain?

Saya tertarik dengan sebuah toko yang terlihat bersih di sebuah jalan yang lalu lintasnya masih ramai seperti biasanya. Ya, aktivitas warga di daerah itu memang "terkesan" tak terdampak penyebaran COVID-19. Sebagian warga terlihat memakai masker saat berkendara, berjalan kaki, dan melakukan jual beli, termasuk di toko tersebut.

Mengapa toko itu? Dari sejumlah toko yang ada di Jalan Pemurus dalam wilayah Kabupaten Banjar, hanya toko tersebutlah yang meminta para calon pembeli untuk mencuci tangan terlebih dahulu sebelum bertransaksi. Ada beberapa kertas bertuliskan "Cuci Tangan Terlebih Dahulu" ditempel di etalasenya yang panjang. Dan, sebuah tempat air berkran disediakan di depannya lengkap dengan sabun cuci cairnya.

"Kemarin, sepanjang hari, kulihat tidak ada yang cuci tangan di sana. Entah hari ini?" kata seorang ibu penjaga toko kue di seberangnya.

Sempat beberapa waktu mengamatinya, memang belum ada yang mau mencuci tangan di depan toko itu. Orang-orang turun dari sepeda motor mereka lalu langsung menuju etalase dan membeli dagangan di sana.
Seorang penjual mi ayam tepat di seberangnya mengatakan, "Ada sebagian yang mencuci tangan. Tapi, sebagiannya itu sangatlah kecil."

Fenomena COVID-19 adalah perkara baru di Indonesia dan dunia. Sebagian orang belum terbiasa menggunakan masker di tempat umum, mencuci tangan sebelum membeli, menerapkan pembatasan jarak sosial, dan terlebih berdiam diri di rumah bagi para pelaku ekonomi informal.

Bagian terakhir inilah yang benar-benar sulit diterapkan. Ada tuntutan perut dan gerbong-gerbong kehidupan yang harus dinafkahi. Jika hanya berdiam diri (stay at home) tanpa adanya santunan pangan dari pemerintah, pelaku ekonomi informal seperti pedagang, akan makan apa?

Itulah agaknya yang melatarbelakangi permintaan cuci tangan di toko tersebut sebagai alternatif selama lockdown belum diterapkan di Indonesia secara nasional.

Pertanyaannya, seefektif apakah alternatif-alternatif lain tersebut dalam memerangi COVID-19?


0 comments: