Wednesday, March 25, 2020

Kebebasan Pers di China Sebenarnya Bisa Membantu Dunia Menghindari Pandemi COVID-19

Sumber RFA

Sekali lagi adalah keterbukaan. Apa pun jenis masalahnya, sangat dibutuhkan keterbukaan agar semuanya dapat berjalan dengan lebih mudah.

Mengutip RFA, Rabu (25/3/2020) sebuah kelompok kebebasan pers yang berbasis di Paris mengatakan bahwa epidemi coronavirus (COVID-19) mungkin tidak akan pernah menjadi pandemi jika wartawan telah diizinkan untuk melakukan pekerjaan mereka dengan lancar daripada harus mematuhi arahan propaganda Partai Komunis China.

"Tanpa kontrol dan penyensoran yang diberlakukan oleh pihak berwenang, media China akan memberi tahu masyarakat jauh lebih awal tentang tingkat keparahan epidemi coronavirus, menyelamatkan ribuan nyawa, dan mungkin menghindari pandemi saat ini," kata Reporters Without Borders (RSF) dalam sebuah pernyataan, mengutip penelitian terbaru.

Ya, para peneliti dari University of Southampton menerbitkan sebuah laporan awal bulan ini yang menyimpulkan bahwa jumlah kasus dapat dikurangi sebesar 86 persen pada minggu-minggu awal wabah COVID-19, jika media diizinkan untuk memberi tahu publik tentang bahaya tersebut untuk kesehatan mereka.

Laporan tersebut melihat serangkaian tanggal penting di mana laporan media bisa melancarkan gelombang tanggapan resmi dan publik terhadap epidemi coronavirus ketika pertama kali muncul di kota Wuhan di Cina tengah, yaitu dimulai dengan hasil pandemi publik coronavirus yang disimulasikan oleh para peneliti di Johns Hopkins Center for Health Security pada 18 Oktober 2019.

Laporan itu, yang dilaksanakan dalam kemitraan dengan World Economic Forum dan Yayasan Bill and Melinda Gates, memproyeksikan total 65 juta kematian dalam 18 bulan dari virus pandemi korona yang baru muncul.

"Jika internet China tidak diisolasi oleh sistem sensor elektronik yang rumit dan media tidak dipaksa untuk mengikuti instruksi Partai Komunis China, publik dan pihak berwenang pasti akan tertarik dengan informasi yang berasal dari Amerika Serikat ini," RSF berkata yang dikutip RFA.

Reporters Without Borders yang juga dikenal sebagai Reporters Sans Frontières (RSF), adalah organisasi nirlaba dan non-pemerintah internasional terkemuka yang melindungi hak atas kebebasan informasi. Mandatnya adalah untuk mempromosikan jurnalisme yang bebas, independen, dan pluralistik, serta untuk membela pekerja media.

Kemudian dalam RFA juga dilaporkan bahwa titik penting lain pada 20 Desember, pejabat kesehatan Wuhan mungkin telah memberi tahu para jurnalis bahwa sudah ada sekitar 60 pasien di kota itu yang menderita pneumonia mirip SARS, banyak dari mereka telah pergi ke Pasar Makanan Laut Huanan.

Tetapi, RSF mengatakan, tidak ada informasi resmi yang muncul pada saat itu.

"Jika pihak berwenang tidak menyembunyikan dari media tentang keberadaan wabah epidemi yang dikaitkan dengan pasar yang sangat populer, publik akan berhenti mengunjungi tempat ini jauh sebelum penutupan resminya pada 1 Januari," kata pihak RSF lagi.

Peluang lain untuk mencegah bencana muncul pada tanggal 25 Desember, ialah ketika Kepala Gastroenterologi di Rumah Sakit No. 5 Wuhan, Lu Xiaohong, pertama kali mulai mendengar staf medis yang terinfeksi penyakit baru, dan mencurigai bahwa penularan dari manusia ke manusia sudah terjadi.

Nah, "Jika sumber wartawan di China tidak menghadapi hukuman berat mulai dari teguran profesional hingga hukuman penjara berat, maka Dokter Lu Xiaohong akan mengambil tanggung jawab untuk mengingatkan media, memaksa pihak berwenang untuk mengambil tindakan, yang hanya terjadi tiga minggu kemudian," kata RSF.

Selanjutnya, di titik balik potensial yang lebih terkenal, yakni delapan petugas medis Wuhan mulai memposting ke media sosial tentang virus corona seperti SARS pada 30 Desember.

Jika peringatan mereka telah dilaporkan secara luas di media, pihak berwenang bisa menghentikan penyebaran COVID-19 lebih cepat.

Tapi apa yang terjadi? Yang terjadi malah sebaliknya, kedelapan orang itu ditahan dan diinterogasi oleh polisi, yang menuduh mereka sebagai "penyebar rumor". Dan, sang pelapor Li Wenliang kemudian meninggal karena COVID-19.

"Jika pers dan media sosial dapat secara bebas menyampaikan informasi yang dikirimkan oleh pelapor pada 30 Desember, publik akan menyadari bahaya dan menekan pihak berwenang untuk mengambil langkah-langkah yang membatasi ekspansi virus," tegas RSF.

Masih dari sumber yang sama, dikatakan pula bahwa sensor terhadap kata kunci tertentu yang dikaitkan dengan merebaknya platform media sosial populer WeChat juga telah mencegah wartawan untuk mengeluarkan laporan terkini soal COVID-19 ke sekitar satu miliar pengguna aktif platform tersebut.

Agar genom virus COVID-19 diketahui publik, para peneliti terpaksa membocorkannya secara daring. Alhasil diketahui publik pertama kali pada 5 Januari dan bisa memperlambat penyebaran virus. Tetapi, setelah itu lembaga mereka, Pusat Klinik Kesehatan Masyarakat Shanghai ditutup.

"Jika media internasional memiliki akses penuh ke informasi yang dipegang oleh otoritas China pada skala epidemi sebelum 13 Januari, kemungkinan komunitas internasional akan mengambil stok krisis dan mengantisipasi lebih baik, mengurangi risiko epidemi menyebar di luar China, dan mungkin menghindari transformasi menjadi pandemi," lanjut RSF.


0 comments: